SUMEDANGONLINE.COM, BOGOR:
Menyikapi banyaknya pernyataan tentang kebijakan
perberasan yang kemudian berkembang menjadi diskursus, Direktorat Kajian
Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) Institut Pertanian Bogor (IPB)
menggelar Focus Group Discussion (FGD). FGD kali ini mengangkat tema “Quo Vadis
Kebijakan Perberasan Nasional”, digelar di Ruang Sidang Rektor Kampus IPB Dramaga
(31/7).
Narasumber yang hadir adalah Prof.Dr. M. Firdaus, Guru
Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Alamsyah Siragih dari Ombusman
Republik Indonesia (ORI), Dr. Ir. Kasa dari Kementerian Perdagangan, dan Ir.
Jodi H. Iswanto dari Pertanian Sehat Indonesia. Selain menggali informasi
terkini tentang isu perberasan nasional, hasil FGD ini akan dirumuskan sebagai
rekomendasi kebijakan perberasan dan akan diserahkan kepada pemerintah.
Dalam paparannya, Dr. Kasan meluruskan beberapa hal
terkait kejadian penggerebekan PT. Indo Beras Unggul (IBU) beberapa waktu lalu.
Saat ini Kementerian Perdagangan sedang melakukan penataan ulang mengenai beras
khususnya tentang Harga Eceran Tertinggi (HET). Menteri Perdagangan
Enggartiasto Lukita secara resmi membatalkan pemberlakukan Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 tentang penetapan harga acuan
pembelian di petani dan harga acuan penjualan di konsumen. Melalui aturan
tersebut, harga beras medium maupun premium dipatok Rp 9.000/kg.
“Pada saat satgas pangan melakukan tindakan, Permendag
Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 belum berlaku karena belum diundangkan atau belum
ditandatangani oleh Menkumham. Jadi tidak ada aturan hukum yang berlaku.
Pedagang tidak perlu takut, silahkan beroperasi seperti biasa,” ujarnya.
Kemendag ingin memberikan solusi atas kejadian ini.
Hari ini sedang ditata ulang semua dari segala aspek dan melibatkan semua
stakeholder yang ada.
“Jadi dari Kemendag sudah clear, tidak usah ada
ketakutan. Karena kejadian ini pasokan beras di Pasar Induk Cipinang sempat
menurun menjadi 1800 ton dari yang biasanya 3000 ton per hari. Sekarang sudah
kembali normal,” terangnya.
Melalui FGD ini ada beberapa point yang berhasil
dirumuskan dan akan dibawa Dr. Kasan untuk disampaikan dalam pembahasan tata
niaga perberasan nasional. Diantaranya data yang harus akurat, tujuan penataan
perberasan harus jelas (stabilisasi harga atau untuk meningkatkan kesejahteraan
petani), spesifikasi klasifikasi beras harus jelas (curah, medium dan premium),
pengendalian pasokan dan swasembada beras dengan peningkatan produksi dan
penurunan konsumsi.
“Yang harus dipikirkan adalah kecukupan pangan (beras)
untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah. Produksi beras kita tinggi tetapi
konsumsi kita juga tinggi,” tandasnya.
Sementara itu, Alamsyah dari ORI mengatakan politik
anti impor belum mampu mengangkat nasib petani. Oleh karean itu ORI berperan
dalam penguatan goverment.
Berkat kejadian ini, Ombusman berhasil merumuskan
tujuh malapraktik dalam tata niaga perberasan nasional. Pertama, dana prognosa
mengandung konflik kepentingan. Akurasi data produktivitas padi tidak pas,
cenderung mengarah ke surplus tapi harga kok tetap tinggi. Kedua, penjualan pupuk
subsidi. Petani kecil perlu biaya hidup selama proses produksi. Yang terjadi
adalah petani menjual pupuk subsidi. Ketiga pelibatan aparat TNI yang
bertentangan dengan syarat-syarat operasi militer non perang. Keempat unorganized
industries. Tidak semua penggilingan tergabung dalam asosiasi (tidak ada data
akurat) sehingga berpotensi menghilangkan sumber penerimaan pajak. Kelima,
cadangan beras tak berkualitas karena penyerapan berdasarkan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) tanpa standarisasi. Ini mengancam kualitas stock beras.
“Stock beras kita yang ada di Bulog kualitas dan
kuantitasnya sangat memprihatinkan hanya 300-400 ribu ton. Beda dengan India
yang stocknya bisa mencapai jutaan ton. Ini mempengaruhi wibawa sebuah negara,”
ujarnya.
Kebijakan
Harga dan PR ke Depan
Menurut Prof. Firdaus, intervensi pemerintah dalam
industri beras tidak hanya dalam bentuk subsidi input (pupuk, benih) dan
bantuan sarana-prasarana yang jumlahnya besar sekali; namun juga dalam bentuk kebijakan
harga yaitu harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET).
Intervensi ini juga sangat lazim dilakukan di berbagai negara produsen beras
lain. Kedua kebijakan harga tersebut terutama dimaksudkan sebagai acuan bagi
Bulog sebagai badan penyangga pangan nasional untuk melakukan pembelian kepada
petani atau operasi di pasar konsumen. Meskipun berbagai kendala yang membatasi
kewenangan Bulog menyebabkan berbagai persoalan di lapangan.
“Beberapa diskusi sudah dilakukan jauh hari sebelumnya
tentang efektivitas HPP gabah. Salah satu penyebab dianggap tidak efektifnya
HPP yang ditetapkan pemerintah adalah harga penjualan gabah oleh petani selalu
jauh di atas HPP. Sepanjang tiga tahun terakhir, harga selalu jauh di atas Rp
4.000. Ini sebenarnya mengisyaratkan HPP yang berlaku saat ini bisa jadi lebih
rendah dari kondisi yang seharusnya. Apalagi bila mengacu pada hasil beberapa
riset, yang memasukkan komponen seperti sewa lahan dan semua tenaga kerja harus
diperhitungkan,” ujarnya.
Harga pupuk urea yang dibayar petani selalu
diperhitungkan sama dengan harga subsidi pemerintah pada kondisi efektif.
Padahal kenyataan di lapangan tidak seperti itu. Beberapa hasil riset
menunjukkan hanya sekitar 10 persen petani yang membawa gabah ke penggilingan
(Gapoktan) kemudian menjual dalam bentuk beras, sisanya menjual gabah kepada
pengepul. Artinya, HPP memang penting untuk menjamin kesejahteraan petani,
tentu dengan asumsi marketable surplus masih besar.
Untuk HET, jelas dengan besaran Rp 9.500 apalagi RP
9.000 sudah dapat dikatakan tidak efektif. Dari publikasi BPS tentang harga
beras di kota-kota Indonesia atau dari publikasi Bank Indonesia yang dapat
dengan mudah diakses melalui smartphone menunjukkan harga beras IR (64) di
pasar-pasar eceran Jakarta, yang dilaporkan untuk kelas 1, 2 atau 3 berkisar
dari hampir Rp 12.000 sampai dengan RP 9.700.
Kalau diasumsikan pangsa pasar beras di luar ritel
modern ini yang masih mendominasi, berarti implementasi HET tidak terjadi di
lapangan. Di beberapa negara, saat kondisi ini terjadi konsumen dapat
melaporkan kepada otoritas setempat, sehingga akan segera ada tindak lanjut
dari Pemerintah. Bagaimana dengan di Indonesia?
Selain itu pemerintah dalam ketetapannya menghitung
HET beras (petani) di penggilingan sebesar Rp 7.300/kg. Bila HET dikonsumen
sebesar Rp 9.500/kg saja, berarti bagian yang diterima petani lebih dari 75%.
Ini sudah mengalahkan kondisi terbaik bagian yang diterima petani di Amerika
Serikat (AS). Sehingga besaran HET ini tentu secara serius perlu dikaji ulang.