IPB Siap Berikan Rekomendasi Tentang Tata Niaga Perberasan Nasional -->
Kamis, 10 April 2025

IPB Siap Berikan Rekomendasi Tentang Tata Niaga Perberasan Nasional

01 Agustus 2017, 00.37.00


SUMEDANGONLINE.COM, BOGOR:

Menyikapi banyaknya pernyataan tentang kebijakan perberasan yang kemudian berkembang menjadi diskursus, Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) Institut Pertanian Bogor (IPB) menggelar Focus Group Discussion (FGD). FGD kali ini mengangkat tema “Quo Vadis Kebijakan Perberasan Nasional”, digelar di Ruang Sidang Rektor Kampus IPB Dramaga (31/7).

Narasumber yang hadir adalah Prof.Dr. M. Firdaus, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Alamsyah Siragih dari Ombusman Republik Indonesia (ORI), Dr. Ir. Kasa dari Kementerian Perdagangan, dan Ir. Jodi H. Iswanto dari Pertanian Sehat Indonesia. Selain menggali informasi terkini tentang isu perberasan nasional, hasil FGD ini akan dirumuskan sebagai rekomendasi kebijakan perberasan dan akan diserahkan kepada pemerintah.

Dalam paparannya, Dr. Kasan meluruskan beberapa hal terkait kejadian penggerebekan PT. Indo Beras Unggul (IBU) beberapa waktu lalu. Saat ini Kementerian Perdagangan sedang melakukan penataan ulang mengenai beras khususnya tentang Harga Eceran Tertinggi (HET). Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita secara resmi membatalkan pemberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 tentang penetapan harga acuan pembelian di petani dan harga acuan penjualan di konsumen. Melalui aturan tersebut, harga beras medium maupun premium dipatok Rp 9.000/kg.

“Pada saat satgas pangan melakukan tindakan, Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 belum berlaku karena belum diundangkan atau belum ditandatangani oleh Menkumham.  Jadi tidak ada aturan hukum yang berlaku. Pedagang tidak perlu takut, silahkan beroperasi seperti biasa,” ujarnya.

Kemendag ingin memberikan solusi atas kejadian ini. Hari ini sedang ditata ulang semua dari segala aspek dan melibatkan semua stakeholder yang ada.

“Jadi dari Kemendag sudah clear, tidak usah ada ketakutan. Karena kejadian ini pasokan beras di Pasar Induk Cipinang sempat menurun menjadi 1800 ton dari yang biasanya 3000 ton per hari. Sekarang sudah kembali normal,” terangnya.

Melalui FGD ini ada beberapa point yang berhasil dirumuskan dan akan dibawa Dr. Kasan untuk disampaikan dalam pembahasan tata niaga perberasan nasional. Diantaranya data yang harus akurat, tujuan penataan perberasan harus jelas (stabilisasi harga atau untuk meningkatkan kesejahteraan petani), spesifikasi klasifikasi beras harus jelas (curah, medium dan premium), pengendalian pasokan dan swasembada beras dengan peningkatan produksi dan penurunan konsumsi.

“Yang harus dipikirkan adalah kecukupan pangan (beras) untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah. Produksi beras kita tinggi tetapi konsumsi kita juga tinggi,” tandasnya.

Sementara itu, Alamsyah dari ORI mengatakan politik anti impor belum mampu mengangkat nasib petani. Oleh karean itu ORI berperan dalam penguatan goverment.

Berkat kejadian ini, Ombusman berhasil merumuskan tujuh malapraktik dalam tata niaga perberasan nasional. Pertama, dana prognosa mengandung konflik kepentingan. Akurasi data produktivitas padi tidak pas, cenderung mengarah ke surplus tapi harga kok tetap tinggi. Kedua, penjualan pupuk subsidi. Petani kecil perlu biaya hidup selama proses produksi. Yang terjadi adalah petani menjual pupuk subsidi. Ketiga pelibatan aparat TNI yang bertentangan dengan syarat-syarat operasi militer non perang. Keempat unorganized industries. Tidak semua penggilingan tergabung dalam asosiasi (tidak ada data akurat) sehingga berpotensi menghilangkan sumber penerimaan pajak. Kelima, cadangan beras tak berkualitas karena penyerapan berdasarkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tanpa standarisasi. Ini mengancam kualitas stock beras.

“Stock beras kita yang ada di Bulog kualitas dan kuantitasnya sangat memprihatinkan hanya 300-400 ribu ton. Beda dengan India yang stocknya bisa mencapai jutaan ton. Ini mempengaruhi wibawa sebuah negara,” ujarnya.

Keenam, salah sasaran pembagian beras raskin dan ketujuh adalah larangan impor yang berpeluang memperbesar bahaya penyelundupan.

Kebijakan Harga dan PR ke Depan
Menurut Prof. Firdaus, intervensi pemerintah dalam industri beras tidak hanya dalam bentuk subsidi input (pupuk, benih) dan bantuan sarana-prasarana yang jumlahnya besar sekali; namun juga dalam bentuk kebijakan harga yaitu harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET). Intervensi ini juga sangat lazim dilakukan di berbagai negara produsen beras lain. Kedua kebijakan harga tersebut terutama dimaksudkan sebagai acuan bagi Bulog sebagai badan penyangga pangan nasional untuk melakukan pembelian kepada petani atau operasi di pasar konsumen. Meskipun berbagai kendala yang membatasi kewenangan Bulog menyebabkan berbagai persoalan di lapangan.

“Beberapa diskusi sudah dilakukan jauh hari sebelumnya tentang efektivitas HPP gabah. Salah satu penyebab dianggap tidak efektifnya HPP yang ditetapkan pemerintah adalah harga penjualan gabah oleh petani selalu jauh di atas HPP. Sepanjang tiga tahun terakhir, harga selalu jauh di atas Rp 4.000. Ini sebenarnya mengisyaratkan HPP yang berlaku saat ini bisa jadi lebih rendah dari kondisi yang seharusnya. Apalagi bila mengacu pada hasil beberapa riset, yang memasukkan komponen seperti sewa lahan dan semua tenaga kerja harus diperhitungkan,” ujarnya.

Harga pupuk urea yang dibayar petani selalu diperhitungkan sama dengan harga subsidi pemerintah pada kondisi efektif. Padahal kenyataan di lapangan tidak seperti itu. Beberapa hasil riset menunjukkan hanya sekitar 10 persen petani yang membawa gabah ke penggilingan (Gapoktan) kemudian menjual dalam bentuk beras, sisanya menjual gabah kepada pengepul. Artinya, HPP memang penting untuk menjamin kesejahteraan petani, tentu dengan asumsi marketable surplus masih besar.

Untuk HET, jelas dengan besaran Rp 9.500 apalagi RP 9.000 sudah dapat dikatakan tidak efektif. Dari publikasi BPS tentang harga beras di kota-kota Indonesia atau dari publikasi Bank Indonesia yang dapat dengan mudah diakses melalui smartphone menunjukkan harga beras IR (64) di pasar-pasar eceran Jakarta, yang dilaporkan untuk kelas 1, 2 atau 3 berkisar dari hampir Rp 12.000 sampai dengan RP 9.700.

Kalau diasumsikan pangsa pasar beras di luar ritel modern ini yang masih mendominasi, berarti implementasi HET tidak terjadi di lapangan. Di beberapa negara, saat kondisi ini terjadi konsumen dapat melaporkan kepada otoritas setempat, sehingga akan segera ada tindak lanjut dari Pemerintah. Bagaimana dengan di Indonesia?
Selain itu pemerintah dalam ketetapannya menghitung HET beras (petani) di penggilingan sebesar Rp 7.300/kg. Bila HET dikonsumen sebesar Rp 9.500/kg saja, berarti bagian yang diterima petani lebih dari 75%. Ini sudah mengalahkan kondisi terbaik bagian yang diterima petani di Amerika Serikat (AS). Sehingga besaran HET ini tentu secara serius perlu dikaji ulang.

 “Pemerintah, terutama Kementerian Pertanian tentu tidak perlu menghabiskan energi terus-menerus untuk isu tataniaga beras premiu. Banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Selain upaya yang serius untuk meningkatkan produktivitas petani padi, mekanisme subsidi, baik input seperti pupuk dan juga harga, serta bantuan sarana-peasarana kepada petani perlu dievaluasi. Akurasi data produksi sampai kepada keberhasilan upaya diversifikasi pangan juga akan sangat menentukan pencapaian cita-cita ketahanan (kemandirian) pangan. Kolaborasi lebih erat dengan Perguruan Tinggi Pertanian, lembaga riset independen, LSM dan dunia usaha tentu sangat dinantikan sebagaimana yang dilakukan di negara tetangga dan banyak negara maju,” tandas Prof. Firdaus.(zul)

TerPopuler